Beranda | Artikel
MAKRUH KOK DILARANG??!!
Selasa, 30 April 2013

(Perihal Makruhnya Sholat di kuburan dan Ritual Tahlilan)

“Makruh kok dilarang!!??”, inilah dalih yang dianggap dalil oleh sebagian orang yang mengaku bermadzhab syafi’i untuk melegalisasi perkara-perkara yang dimakruhkan/dibenci oleh para ulama madzhab syafi’iyah.

Tatkala disampaikan kepada sebagian mereka bahwa ulama madzhab syafi’iyah membenci sholat di kuburan dan membangun masjid di atas kuburan dalam rangka mencari keberkahan, demikian juga para ulama syafi’iyah membenci acara kumpul-kumpul di rumah mayat setelah lebih dari tiga hari, maka  dengan mudah mereka akan menjawab, “Kan hukumnya hanya dibenci alias makruh, tidak sampai haram. Maka janganlah kalian melarang!, sungguh aneh kalian  kaum wahabi!”

Lantas dengan dalih ini maka merekapun menjadi semakin semangat untuk sholat di kuburan atau mencari keberkahan di kuburan!!!

Kita katakan, justru mereka inilah yang ANEH bin AJAIB, kok perkara-perkara yang makruh/dibenci malah semakin dilestarikan dan dihidupkan?! Perkara-perkara yang dibenci Allah kok malah dicintai mereka?

Perkara-perkara yang dibenci Allah kok malah seperti perkara yang sunnah atau bahkan wajib!
Bukankah Makruh Tanzih artinya jika ditinggalkan mendapat pahala? Kok malah semangat dikerjakan?

Terlebih lagi ternyata tidak semua yang divonis “MAKRUH” oleh para ulama syaifi’iyah maka artinya jika dikerjakan tidak mengapa dan jika ditinggalkan dapat pahala.

Bahkan banyak dari perkara yang divonis oleh Imam As-Syafi’i dengan makruh ternyata maksud beliau adalah HARAM!

Berikut perkara-perkara yang penting diperhatikan dalam memahami makna “MAKRUH” dalam perkataan para ulama madzhab Syafi’iyah.

PERTAMA: Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya al-Umm telah mengisyaratkan tentang sebab para ulama terdahulu sering mengucapkan lafal makruh untuk perkara-perkara yang haram.

Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah membahas tentang permasalahan menjimak tawanan perang wanita padahal masih di negeri musuh, ia berkata:

قال أبو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا كان الْإِمَامُ قد قال من أَصَابَ شيئا فَهُوَ له فَأَصَابَ رَجُلٌ جَارِيَةً لَا يَطَؤُهَا ما كان في دَارِ الْحَرْبِ وقال الْأَوْزَاعِيُّ له أَنْ يَطَأَهَا وَهَذَا حَلَالٌ من اللَّهِ عز وجل …
قال أبو يُوسُفَ ما أَعْظَمَ قَوْلَ الْأَوْزَاعِيِّ في قَوْلِهِ هذا حَلَالٌ من اللَّهِ أَدْرَكْت مَشَايِخَنَا من أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ في الْفُتْيَا أَنْ يَقُولُوا هذا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ إلَّا ما كان في كِتَابِ اللَّهِ عز وجل بَيِّنًا بِلَا تَفْسِيرٍ

((Abu Hanifah rahimahullah berkata: Jika imam telah berkata: “Barang siapa yang mendapatkan sesuatu (dari harta musuh dalam peperangan-pen) maka hal itu miliknya”, lalu ada seseorang yang mendapatkan budak wanita, maka ia tidak menjimaknya selama ia masih berada dalam negeri lokasi peperangan.”

Al-Auzaa’i  berkata, “Boleh baginya untuk menjimaknya, dan ini adalah HALAL dari Allah Azza wa Jalla…”

Abu Yusuf berkata, “Sungguh berat perkataan Al-Auzaa’i dalam pernyataannya: (Ini adalah halal dari Allah). Aku telah bertemu guru-guru kami dari kalangan ulama, mereka membenci tatkala berfatwa untuk berkata: “ini halal” dan “ini haram” kecuali perkara-perkara yang jelas dalam Al-Qur’an yang tanpa perlu penafsiran lagi.

حدثنا بن السَّائِبِ عن رَبِيعِ بن خَيْثَمٍ وكان من أَفْضَلِ التَّابِعِينَ أَنَّهُ قال إيَّاكُمْ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ إنَّ اللَّهَ أَحَلَّ هذا أو رَضِيَهُ فَيَقُولَ اللَّهُ له لم أُحِلَّ هذا ولم أَرْضَهُ وَيَقُولَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ هذا فَيَقُولَ اللَّهُ كَذَبْت لم أُحَرِّمْ هذا ولم أَنَّهُ عنه وَحَدَّثَنَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا عن إبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ أَنَّهُ حَدَّثَ عن أَصْحَابِهِ أَنَّهُمْ كَانُوا إذَا أَفْتَوْا بِشَيْءٍ أو نَهَوْا عنه قالوا هذا مَكْرُوهٌ وَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ فَأَمَّا نَقُولُ هذا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ فما أَعْظَمَ هذا

Telah mengabarkan kepada kemi Ibnu As-Saaib dari Robii’ bin Khoitsam dan ia adalah termasuk tabi’in yang paling mulia bahwasanya ia berkata: “Hati-hatilah kalian jangan sampai seseorang berkata: “Allah telah menghalalkan ini atau meridhoinya”, lalu Allah berkata kepadanya: “Aku tidak menghalalkan ini dan aku tidak meridoinya.” Ia berkata : “Allah telah mengharamkan ini”, lalu Allah berkata, “Engkau dusta, aku tidak mengharamkan ini, dan aku tidak melarangnya.”

Dan telah mengabarkan kepada kami sebagian sahabat kami dari Ibrahim An-Nakho’iy bahwasanya ia menyampaikan dari para sahabatnya bahwsanya mereka jika memfatwakan bolehnya sesuatu atau melarang sesuatu maka mereka berkata, “Ini adalah makruh”, dan “Ini hukumnya tidak mengapa.” Adapun jika kita mengatakan “ini halal” dan “ini haram” maka sungguh berat hal ini)) (Al-Umm 7/351)

Penjelasan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di atas menunjukan bahwa para ulama terdahulu tidak mudah mengatakan sesuatu haram, kecuali jika keharaman tersebut sudah sangat jelas di Al-Qur’an yang tidak membutuhkan penjelasan dan penafsiran lagi. Adapun perkara-perkara yang tidak ada nas “haram” dalam Al-Qur’an maka para ulama terdahulu lebih menyukai untuk mengatakan bahwa hal itu makruh

KEDUA: Karenanya banyak perkataan “makruh” yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah akan tetapi maksud beliau adalah haram. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abu Hamid Al-Gozzaali rahimahullah. Beliau berkata:

“Adapun “MAKRUH” adalah lafal yang mengandung banyak makna di tradisi kalangan para ahli fikih:

Pertama: Mahzur (larangan/haram), maka sering kali Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku memandang ini makruh” dan maksud beliau adalah “pengharaman”.

Kedua: Apa yang dilarang akan tetapi larangan tanzih, yaitu yang didefiniskan dengan meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya meskipun tidak ada hukuman atas meninggalkannya. Sebagaimana an-nadbu adalah didefinisikan dengan melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya.” (Al-Mustashfa, 1/215-216)

Berikut contoh perkataan Imam As-Syafi’i makruh akan tetapi maksudnya adalah haram (diambil dari kitab beliau Al-Umm):

Pertama: Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

فَكُلُّ من حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ كَرِهْت له

“Semua orang yang bersumpah dengan selain nama Allah maka aku membencinya.” (Al-Umm 7/61)

Tentunya tidak diragukan lagi bahwa bersumpah dengan nama selain Allah adalah kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barang siapa yang bersumpah selain Allah maka sungguh ia telah kafir atau berbuat kesyirikan.”

Kedua: Imam Asy-Syafii berkata:

وَأَكْرَهُ تخطى رِقَابِ الناس يوم الْجُمُعَةِ قبل دُخُولِ الامام وَبَعْدَهُ لِمَا فيه من الْأَذَى لهم وَسُوءِ الْأَدَبِ

“Dan aku membenci (memandang makruh) melompati pundak-pundak manusia pada hari jum’at, baik sebelum masuknya imam maupun sesudahnya, karena hal ini menyakiti mereka dan merupakan adab yang buruk.” (Al-Umm 1/198)

Dan tentunya menyakiti orang lain merupakan perkara yang haram. Karenanya setelah menyampaikan pernyataan di atas, Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan hadits (آذَيْتَ آذَيْتَ) “Engkau telah menyakiti… engkau telah menyakiti…”

Ketiga: Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ على الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Dan aku membenci niahah atas mayat setelah kematiannya.” (al-Umm 1/279)

Padahal jelas bahwa sikap niahah adalah perbuatan yang haram.

Keempat: Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَعْمَلَ بِنَاءً أو نِجَارَةً أو غَيْرَهُ في كَنَائِسِهِمْ التي لِصَلَوَاتِهِمْ

“Aku memandang makruh bagi seorang muslim yang membuat bangunan atau bangunan kayu atau yang lainnya di gereja-gerja mereka yang digunakan untuk sholat mereka.” (Al-Umm 4/213)

Tentunya membangunkan gereja untuk ibadah orang kafir adalah hal yang haram karena ikut berpartisipasi dan tolong menolong dalam kekufuran mereka.

Kelima: Imam Asy-Syafii berkata:

 وَأَكْرَهُ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يَخْطُبَ على غَيْرِهِ كما أَكْرَهُ له أَنْ يَخْطُبَ على نَفْسِهِ وَلَا تُفْسِدُ مَعْصِيَتُهُ بِالْخِطْبَةِ إنْكَاحَ الْحَلَالِ

“Dan aku memandang makruh bagi seorang yang sedang muhrim berkhitbah untuk orang lain sebagaimana aku memandang makruh jika ia berkhitbah untuk dirinya, dan kemaksiatannya tersebut dengan melakukan khitbah tidaklah merusak ia menikahkan seorang yang halal (tidak ihrom).” (Al-Umm 5/78)

Sangatlah jelas al-Imam Asy-Syafi’i menamakan sikap seorang muhrim yang mengkhitbah sebagai kemaksiatan, padahal sebelumnya ia menyebutnya sebagai perbuatan makruh. Ini menunujukan makruh yang dimaksud adalah haram.

KETIGA: Demikian juga banyak pernyataan “makruh” dari perkataan para ulama syafi’iyah yang masih diperselisihkan apakah yang dimaksud adalah makruh haram ataukah makruh tanzih. Dan banyak juga yang dimaksud dengan makruh adalah haram dengan kesepakatan para ulama syafi’iyah.

Hal ini menunjukan bahwa tidak setiap lafal “makruh” maka otomatis maknanya bukan haram dan hanya sekedar dibenci!

Berikut beberapa contoh yang terdapat di kitab al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab karya al-Imam An-Nawawi rahimahullah

Pertama: Al-Imam An-Nawawi berkata:

((Penulis (Asy-Syiroozi) rahimahullah berkata: “Dan makruh hukumnya menggunakan bejana emas dan perak…”

قال المصنف رحمه الله (ويكره استعمال أواني الذهب والفضه….)
وهل يكره كراهة تنزيه أو تحريم: قولان قال في القديم كراهة تنزيه لانه انما نهى عنه للسرف والخيلاء والتشبه بالاعاجم وهذا لا يوجب التحريم وقال في الجديد يكره كراهة تحريم وهو الصحيح لقوله صلى الله عليه وسلم الذى يشرب في آنية الفضة انما يجرجر في جوفه

Dan apakah makruh maksudnya makruh tanzih ataukah makruh tahrim?, ada dua pendapat. As-Syafi’i berkata dalam pendapat qodimnya (pendapat lama): Makruh tanzih karena hal ini hanyalah dilarang disebabkan sikap berlebih-lebihan, kesombongan, da meniru-niru orang-orang ‘ajam, dan hal ini tidak mengharuskan pengharaman.

Dan Asy-Syafi’i berkata dalam pendapat yang baru: “Makruh haram”, dan inilah pendapat yang benar karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barang siapa yang minum dari bejana perak maka sesungguhnya ia sedang mengoyangkan api dalam tubuhnya”)) (Al-Majmuu’ 1/246)

Kedua: Al-Imam An-Nawawi berkata:

(ويكره أن يصلي الرجل بامرأة اجنبية لما روى أن النبي صلي الله عليه وسلم قال ” لا يخلون رجل بامرأة فان ثالثهما الشيطان “)  (الشرح) المراد بالكراهة كراهة تحريم هذا إذا خلا بها

((Perkataan Asy-Syiiroozy: “Dan makruh hukumnya seorang lelaki sholat mengimami seorang wanita yang ajnabiah (bukan mahromnya) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah syaitan.”

Penjelasan: “Yang dimaksud dengan makruh di sini adalah makruh tahrim, hal ini jika sang lelaki berkhalwat (berdua-duaan) dengan sang wanita.” (Al-Majmuu’ 4/277)

Ketiga: Al-Imam An-Nawawi berkata:

أما حكم الوصال فهو مكروه بلا خلاف عندنا وهل هي كراهة تحريم أم تنزيه فيه الوجهان … (أصحهما) عند أصحابنا وهو ظاهر نص الشافعي كراهة تحريم

“Adapun hukum puasa wishool maka hukumnya adalah makruh tanpa ada perbedaan pendapat di sisi kami. Apakah makruhnya makruh haram ataukah makruh tanzih?

Ada dua pendapat …dan yang paling benar diantara kedua pendapat ini di sisi para sahabat kami –dan itu adalah dzohir dari nas (pernyataan) Imam As-Syafi’i yaitu makruh haram.” (Al-Majmuu’ 6/357)

Keempat: Al-Imam An-Nawawi berkata tentang hukum berburu buruan tanah suci kota Madinah:

 وأما نص الشافعي فقال القاضى أبو الطيب هذه الكراهة التى ذكرها الشافعي كراهة تحريم باتفاق اصحابنا

“Adapun pernyatan Imam Asy-Syafi’i maka Al-Qoodhy Abu At-Thoyyib berkata, “Makruh yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i adalah makruh haram berdasarkan kesepakatan sahabat kita.” (Al-Majmuu’ 7/480)
 
Kelima: Al-Imam An-Nawawi berkata:

قالوا ومراد الشافعي بالكراهة كراهة تحريم (الطريق

“Mereka berkata: Yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi’i dengan makruh adalah makruh haram.” (Al-Majmuu’ 7/483)

KEEMPAT: Jika ternyata Imam As-Syafi’i rahimahullah dan juga para ulama terhadulu sering mengungkapkan haram dengan makruh, lantas bagaimana cara membendakan antara yang hukumnya makruh tahrim (haram) dan makruh yang tanziih?

Jawabannya adalah tidak ada jalan lain kecuali dengan melihat qorinah-qorinah yang ada atau penjelasan para ulama syafi’iyah tentang maksud dari makruh tersebut (sebagaimana telah lalu)

Sebagai contoh:

Permasalahan Beribadah di kuburan Karena Mencari Keberkahan

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

sebagaimana perkataan Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i:

“Dan telah sepakat teks-teks dari Imam As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan MAKRUHNYA membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak”.
 
Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimhullah: Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu a’lam.” (Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289)

Silahkan baca kembali (https://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187-imam-as-syafii-imam-an-nawawi-dan-imam-ibnu-hajr-al-haitamiy-pengikut-wahabi#comment-3369)

Asy-Syiroozi berkata:

“Dan dibenci dibangunnya masjid di atas kuburan, karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Martsad Al-Gonawi bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang sholat ke arah kuburan dan berkata, “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala (sesembahan), karena sesungguhnya bani Israil telah binasa karena mereka menjadi kuburan-kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” As-Syafii berkata, “Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya.” (Al-Muhadzdzab 1/456, dengan tahqiq: Dr. Muhammad Az-Zuhaili)

Sangatlah jelas bahwa makruh di sini maknanya adalah haram, karena dalil yang dijadikan sebagai argumen adalah tentang larangan. Dan inilah yang dipahami oleh Ibnu Hajar Al-Haitami.

Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab:

الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ

“Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (*Al-Majmuu’) syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut maka dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan sholihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi, Khodim Ar-Rofi’i wa Ar-Roudhoh, wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini maka lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (*di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu ‘anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang dimaksud dengan musabbalah -sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain- yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri pekuburan. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika telah jelas hal ini maka pekuburan yang disebutkan oleh penanya maka diharamkan membangun di situ dan haurs dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh atau ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya.” (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17).

***

Penulis: Firanda Andirja, M.A.
Artikel www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/763-makruh-kok-dilarang.html